A Story of The Girl And Her Daydreaming #4

 [A Sheet of Paper]

-4-

Bukan Lagi Menghitung Hari


    Ia berjalan disuatu malam, merapatkan cardigannya. Angin malam pada musim kemarau rupanya cukup dingin. Ia terus berjalan. Kearah taman itu. Taman yang berada diujung kompleks rumah.
    Dalam perjalanan itu, rupanya cukup sepi. Hanya ada dirinya, suara jangkrik, suara kendaraan dari kejauhan, dan tentunya suara dedaunan yang gugur terseret angin. Ya, benar. Gadis ini tidak takut.
    Sesampainya disana, lantas ia duduk diayunan berwarna merah. Sambil mengayun-ayunkannya, wajahnya mendongak keatas. 
    "Oh, ada bintang," gumamnya.
    Sambil memejamkan mata, ia mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Sembari berharap dengan itu, segala permasalahan didalam hidupnya ini terhempaskan.
    Beberapa saat kemudian ia menunduk. Tersenyum pahit. Hal itu terjadi lagi.
    Sekarang ini otaknya dipenuhi oleh berbagai adegan kehidupan dimasa yang tidak akan pernah bisa terulang. Ia terus-menerus berusaha menghapus memori itu, namun tak kunjung hilang. Malahan, timbul berbagai macam persoalan lagi yang tak kalah rumit.
    "Hidup itu lucu, ya." Perkataan seseorang tiba-tiba muncul dibenaknya.
    Ia tersenyum pahit lagi. Rupanya sekarang dirinya paham apa maksud dari kalimat itu. Hidup ini memang sangat amat lucu. Sampai-sampai ia ingin menangis saking lucunya.
    Dahulu, ada hari dimana sangat ia nantikan. Tak henti-hentinya ia memandangi kalender hanya untuk menantikan hari itu.
    Hari dimana ia dapat merasakan harapan.
    Namun... hari itu sudah hilang.
  Ia mengalihkan pandangan, memandangi rantai ayunan yang sedang ia pegang. Dingin. Tetapi anehnya, hal itu mengingatkannya pada seseorang. Ya, benar. Seseorang berhati hangat yang dahulu ia nantikan, namun saat ini entah mengapa berbanding terbalik. Ia tersenyum getir. Bahkan rantai ayunan inipun bisa mengingatkanku padanya, gumamnya. 
    Kini ia kembali mengayunkan ayunan. Membiarkan angin menggoyang-goyangkan rambutnya yang pendek sebahu. Sambil terus menenangkan hatinya yang semakin hari semakin rapuh.
    Berkali-kali ia memejamkan mata sambil menghembuskan napas dalam-dalam. Andaikan dirinya punya mesin waktu Doraemon, pastilah ia tidak akan seperti ini, pikirnya. Ia menertawakan dirinya. Masih saja berpikir kekanak-kanakan seperti itu. 
    Beberapa menit kemudian ia menurunkan kedua kakinya. Menghentikan ayunan yang ia tumpangi. Sambil menatap lurus kedepan, sepertinya ia sudah menemukan jawabannya. Meskipun masih ada rasa tidak nyaman didalam hatinya. Setengah dirinya enggan dengan jawaban itu, tapi setengah dirinya lagi sangat mendukung hal itu. Lalu, bagaimana? 
    Ia kembali memejamkan mata. Mungkin kali ini ia harus mencoba merasakan ketidaknyamanan itu. Mungkin... Entahlah.
    Gadis ini mengencangkan pegangannya di kedua rantai ayunan. Kali ini ia harus bisa menyadarkan dirinya sendiri.
    Sepertinya aku sudah tidak perlu repot-repot lagi untuk menghitung hari.
   Matanya membulat. Ia barusan menyadari gumamannya. Mungkin ia harus melakukannya. Kalau tidak, ia akan menjadi seperti apa? Manusia yang terjebak arus didalam kekecewaan?
    Ia berdiri. Merasakan dadanya sesak. Memang ia belum siap untuk menjalani ini semua. Tetapi mau tidak mau dirinya harus menerima keadaan. Gadis ini memejamkan mata. Lagi-lagi, adegan masa lalu menghiasi pemikirannya. Sakit di dada masih terasa. Namun apa daya...
    Seseorang rupanya memang harus bangkit dari keterpurukan.
    
    




Komentar

Postingan Populer